Friday, September 26, 2014

Renung


Sekilas menoleh, aku sudah tahu bahwa kamu telah terlelap. Perjalanan ini memang demikian meletihkan. Ratusan kilo kita berkendara dan waktu tak mau berkompromi, kita tetap harus tiba tepat pada waktunya. Seharian kita melaju ke barat. Tentu bukan untuk mencari kitab suci, apalagi cinta sejati. Kita berburu kepastian antara hidup dan mati. Ah tidak, barangkali itu berlebihan. Kita sedang menjemput nafas. Ya, karena kita tahu kita harus bertahan hidup demi kehidupan banyak orang.

Sayangku, barangkali bukan hanya lelah yang menidurkanmu kini, melainkan juga karena bosanmu berbicara satu arah selama beberapa menit terakhir ini. Maafkan, bukan karena aku tuli dan tak lagi mau mendengar. Justru aku menghargaimu dan memberikan seluruh kemampuan mendengarku untuk menyimak setiap kata – katamu. Tapi aku sungguh tak memiliki jawaban yang sesuai untuk kuucapkan selain “err”, “mm”, “oh”, dan sebangsanya. Karena aku tak ingin berdebat denganmu. Karena diamku bermakna ada hal – hal yang aku tak setuju dan aku tak ingin menjadi seterumu.

“selepas Cileunyi daerah rawan, berhati – hatilah” aku tersenyum (aku selalu berhati – hati, sayang. Tapi sungguh terima kasih)
“banyak kecelakaan, dan banyak yang aneh” mm.. (setiap tempat memang memanggul misterinya sendiri – sendiri, kasihku)
“mungkin ada yang ‘memasang’ sesuatu” err.. (itu aku percaya, tapi selepas kematian, karmalah yang membawa nasib jiwa. Bukan demikian, belahan jiwaku?)
“hati – hatilah” aku kembali tersenyum (sudah barang tentu, cinta)
“berdoalah” mm.. (aku lebih memilih bermeditasi daripada berdoa, karena aku lebih suka berdialog daripada meminta)
“setidaknya kalau terjadi apa – apa kita tetap masuk surga” oh.. (maaf sayangku, tapi aku sudah lama melupakan konsep surga dan neraka)
“kamu percaya tuhan?” aku mengangguk (ya, dengan konsep yang kemungkinan besar berbeda denganmu)

Dan ketika kamu mulai bosan berbicara, aku pun terus menatap lurus ke jalanan depan, walau konsentrasiku tak sepenuhnya di sana. Di jalanan ini, di antara ruas – ruas kebun teh di sisi kanan dan kiri, kulihat bintang – bintang bersinar terang. Ah, sudah barang tentu bintang terlihat jelas, tiada mendung yang menutupinya. Alasan yang sama mengapa siang tadi matahari demikian menyengat. Barangkali akan sama menyengatnya situasi saat ini jika aku memutuskan untuk mengucapkan apa yang kupikirkan di penghujung setiap kalimatmu barusan.

Ah, tapi, walau bagaimanapun, tidur, tidurlah, kebanggaanku.. Apapun keyakinanmu, dan dengan cara sesederhana dan sepolos apapun kamu menyikapinya, aku tetap mencintaimu..


selintas renungan,
menjelang fajar di Cipularang..

No comments:

Post a Comment