Sekilas menoleh, aku sudah tahu bahwa kamu telah terlelap. Perjalanan
ini memang demikian meletihkan. Ratusan kilo kita berkendara dan waktu tak mau
berkompromi, kita tetap harus tiba tepat pada waktunya. Seharian kita melaju ke
barat. Tentu bukan untuk mencari kitab suci, apalagi cinta sejati. Kita berburu
kepastian antara hidup dan mati. Ah tidak, barangkali itu berlebihan. Kita sedang
menjemput nafas. Ya, karena kita tahu kita harus bertahan hidup demi kehidupan
banyak orang.
Sayangku, barangkali bukan hanya lelah yang menidurkanmu
kini, melainkan juga karena bosanmu berbicara satu arah selama beberapa menit
terakhir ini. Maafkan, bukan karena aku tuli dan tak lagi mau mendengar. Justru
aku menghargaimu dan memberikan seluruh kemampuan mendengarku untuk menyimak
setiap kata – katamu. Tapi aku sungguh tak memiliki jawaban yang sesuai untuk
kuucapkan selain “err”, “mm”, “oh”, dan sebangsanya. Karena aku tak ingin
berdebat denganmu. Karena diamku bermakna ada hal – hal yang aku tak setuju dan
aku tak ingin menjadi seterumu.
“selepas Cileunyi daerah rawan, berhati – hatilah” aku
tersenyum (aku selalu berhati – hati, sayang. Tapi sungguh terima kasih)
“banyak kecelakaan, dan banyak yang aneh” mm.. (setiap
tempat memang memanggul misterinya sendiri – sendiri, kasihku)
“mungkin ada yang ‘memasang’ sesuatu” err.. (itu aku
percaya, tapi selepas kematian, karmalah yang membawa nasib jiwa. Bukan
demikian, belahan jiwaku?)
“hati – hatilah” aku kembali tersenyum (sudah barang tentu,
cinta)
“berdoalah” mm.. (aku lebih memilih bermeditasi daripada
berdoa, karena aku lebih suka berdialog daripada meminta)
“setidaknya kalau terjadi apa – apa kita tetap masuk surga” oh..
(maaf sayangku, tapi aku sudah lama melupakan konsep surga dan neraka)
“kamu percaya tuhan?” aku mengangguk (ya, dengan konsep yang
kemungkinan besar berbeda denganmu)
Dan ketika kamu mulai bosan berbicara, aku pun terus menatap
lurus ke jalanan depan, walau konsentrasiku tak sepenuhnya di sana. Di jalanan
ini, di antara ruas – ruas kebun teh di sisi kanan dan kiri, kulihat bintang –
bintang bersinar terang. Ah, sudah barang tentu bintang terlihat jelas, tiada
mendung yang menutupinya. Alasan yang sama mengapa siang tadi matahari demikian
menyengat. Barangkali akan sama menyengatnya situasi saat ini jika aku
memutuskan untuk mengucapkan apa yang kupikirkan di penghujung setiap kalimatmu
barusan.
Ah, tapi, walau bagaimanapun, tidur, tidurlah, kebanggaanku..
Apapun keyakinanmu, dan dengan cara sesederhana dan sepolos apapun kamu
menyikapinya, aku tetap mencintaimu..
selintas renungan,
menjelang fajar di
Cipularang..
No comments:
Post a Comment