Seringnya mimpi memang hanya
kembang tidur, atau wujud pengharapan (atau ketakutan) yang berlebihan. Tapi
tak semua mimpi begitu saja mudah untuk dilupakan. Barangkali karena menyimpan
makna tertentu, ada jenis – jenis mimpi yang lekat dan memenuhi pikiran.
Aku baru saja mengalaminya.
Aku berjalan di bawah terik
matahari yang panas membakar, berjalan jauh di jalan – jalan berkerikil yang
berdebu. Rasanya demikian gerah dan melelahkan. Tapi aku bertahan, aku terus
berjalan. Di sebuah pertigaan aku berbelok ke kiri. Samar kulihat siluet candi
prambanan. Tapi aku tak hendak ke sana. Aku terus berjalan. Jalanan semakin
berkerikil, berdebu, dan menanjak. Anak – anak bermain dan bersenda gurau. Aku melewati
mereka sambil mengumbar senyum. Ah, barangkali jalanku sudah semakin dekat. Jalanan
semakin menanjak. Bukan jalan lagi, karena rasa – rasanya sejauh mata memandang
sama saja, tebing – tebing, sungai opak di kejauhan. Aku berhenti di hamparan
batu – batu yang tersusun dalam formasi. Mandala wajradhatu. Berdiri dengan
dingin sepasang dwarapala persis di hadapanku. Aku berlari menuju pusatnya. Di tengah
– tengah adalah candi utama. Aku terduduk, bersimpuh, dan menangis. Dalam hati
aku tahu, ini Manjusrighra, atau yang biasa dikenal sebagai Candi Sewu.
Aku terbangun, duduk, terdiam.
Rahasiakah yang terbentang lewat
mimpi itu? Seumur hidup aku tak pernah melihat Candi Sewu. Bahkan dengan
lugunya dulu aku mengira Candi Sewu adalah nama lain dari Candi Prambanan yang
berjumlah ratusan itu. Sama lugunya dengan mengira bahwa arca Durga
Mahisasuramardini di dalam candi utama Prambanan adalah Roro Jongrang. Ah, barangkali
aku telah dipanggil untuk mencari.
Yang aku tahu, aku harus ke Candi
Sewu…
No comments:
Post a Comment