Tuesday, September 30, 2014

Barisan Para Mantan


Dia termangu sejenak, menerawang, kemudian mulai bercerita. Sebenarnya lebih kepada penyatuan cerita yang tercecer selama ini. Ya, sudah beberapa kali dia bercerita tentang masa lalunya, namun dalam kisah sepotong – sepotong. Walau aku bisa merangkainya, namun tetap ada bagian – bagian yang butuh ditambal. Dan malam ini dia seakan mengisi kekosongan – kekosongan bagian itu, menambalnya dengan cerita yang lebih runut. Aku adalah pendengar yang baik, maka aku diam dan cukup menunjukkan mimik ekspresi. Dia sedang berbagi daftar. Dan di antaranya, ada nama – nama yang membuatnya terkenang cukup lama. Ah ya, cinta pertama salah satunya. Cinta – cinta penuh perasaan salah dua dan tiganya.

Dari keseluruhan ceritanya, ada hal menakjubkan yang kucatat, dia tak pernah menjelek – jelekkan. Dia menghargai setiap kehadiran masing – masing wanita pengisi hidupnya. Dia tak menuntut banyak. Baginya kecantikan, kekayaan, kepandaian, dan beragam kelebihan telah diatur tuhan sesuai dengan porsinya. Dia tak terlalu merisaukan dan mengenang paras para mantan. Dia lebih memilih melihat kebaikan mereka, pengorbanan, cara menunjukkan kasih sayang. Dia mengatakan tak pernah peduli dengan masa lalu mantan – mantannya. Selama saat bersamanya baik dan tidak berkhianat, maka dia meyakini orang itu orang baik. Ah ya, barangkali memang hatinya sedang halus dan melankolis saat ini.

Di ujung ceritanya, dia melihat pada mataku, menyentuh pipiku dengan telapak tangannya, kemudian tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih. Aku tersenyum. Barangkali dia lega telah menumpahkan segalanya padaku. Bukan hanya persoalan rumit kehidupan dewasa semacam keuangan dan hubungan bisnis belaka, melainkan juga timbunan cerita percintaan remaja yang mungkin dia merasa perlu untuk membaginya denganku, agar denganku tiada lagi rahasia yang perlu dia pertahankan.
Di detik ini aku merasa lega. Setidaknya aku dipercaya. Dan aku pun merasa malu dan tersadarkan. Seorang pria yang jatuh cinta tidak memandang fisik sebagai acuan utama. Kenyamanan lah yang dicari. Lalu mengapa aku sebegitu panik dan rendah diri ketika ada jerawat tumbuh di muka? Aku belajar berdamai dengan keadaanku saat ini. Jika sikapku adalah sumber ketenangan baginya, harus apalagi yang bisa menjaga kami selain cinta?

Ah, aku turut pada perasaan melankolis. Aku memutuskan berterima kasih kepada semua mantan – mantanku di luar sana. Setidaknya mereka turut membentuk kepribadianku hari ini. Terutama kepada cinta pertama, yang aku tau diam – diam masih mengingatku dengan segala puja dan cerca..


Dengan backsound The Rain – Terlatih Patah Hati

Monday, September 29, 2014

Sunyata


Yang bernama,
akan menjadi yang berujud..
Yang berujud,
akan menjadi yang terdeskripsi..
Yang terdeskripsi,
akan menjadi tak istimewa lagi..

Maka menjelmalah sunyata,
Dalam kesederhanaan tanpa kata,
Dalam kesungguhan tanpa nama,
Agar yang kau dapat sungguh istimewa..


saat bosan,...
di sebuah studio di Arcamanik, Bandung


Friday, September 26, 2014

Renung


Sekilas menoleh, aku sudah tahu bahwa kamu telah terlelap. Perjalanan ini memang demikian meletihkan. Ratusan kilo kita berkendara dan waktu tak mau berkompromi, kita tetap harus tiba tepat pada waktunya. Seharian kita melaju ke barat. Tentu bukan untuk mencari kitab suci, apalagi cinta sejati. Kita berburu kepastian antara hidup dan mati. Ah tidak, barangkali itu berlebihan. Kita sedang menjemput nafas. Ya, karena kita tahu kita harus bertahan hidup demi kehidupan banyak orang.

Sayangku, barangkali bukan hanya lelah yang menidurkanmu kini, melainkan juga karena bosanmu berbicara satu arah selama beberapa menit terakhir ini. Maafkan, bukan karena aku tuli dan tak lagi mau mendengar. Justru aku menghargaimu dan memberikan seluruh kemampuan mendengarku untuk menyimak setiap kata – katamu. Tapi aku sungguh tak memiliki jawaban yang sesuai untuk kuucapkan selain “err”, “mm”, “oh”, dan sebangsanya. Karena aku tak ingin berdebat denganmu. Karena diamku bermakna ada hal – hal yang aku tak setuju dan aku tak ingin menjadi seterumu.

“selepas Cileunyi daerah rawan, berhati – hatilah” aku tersenyum (aku selalu berhati – hati, sayang. Tapi sungguh terima kasih)
“banyak kecelakaan, dan banyak yang aneh” mm.. (setiap tempat memang memanggul misterinya sendiri – sendiri, kasihku)
“mungkin ada yang ‘memasang’ sesuatu” err.. (itu aku percaya, tapi selepas kematian, karmalah yang membawa nasib jiwa. Bukan demikian, belahan jiwaku?)
“hati – hatilah” aku kembali tersenyum (sudah barang tentu, cinta)
“berdoalah” mm.. (aku lebih memilih bermeditasi daripada berdoa, karena aku lebih suka berdialog daripada meminta)
“setidaknya kalau terjadi apa – apa kita tetap masuk surga” oh.. (maaf sayangku, tapi aku sudah lama melupakan konsep surga dan neraka)
“kamu percaya tuhan?” aku mengangguk (ya, dengan konsep yang kemungkinan besar berbeda denganmu)

Dan ketika kamu mulai bosan berbicara, aku pun terus menatap lurus ke jalanan depan, walau konsentrasiku tak sepenuhnya di sana. Di jalanan ini, di antara ruas – ruas kebun teh di sisi kanan dan kiri, kulihat bintang – bintang bersinar terang. Ah, sudah barang tentu bintang terlihat jelas, tiada mendung yang menutupinya. Alasan yang sama mengapa siang tadi matahari demikian menyengat. Barangkali akan sama menyengatnya situasi saat ini jika aku memutuskan untuk mengucapkan apa yang kupikirkan di penghujung setiap kalimatmu barusan.

Ah, tapi, walau bagaimanapun, tidur, tidurlah, kebanggaanku.. Apapun keyakinanmu, dan dengan cara sesederhana dan sepolos apapun kamu menyikapinya, aku tetap mencintaimu..


selintas renungan,
menjelang fajar di Cipularang..

Wednesday, September 17, 2014

Peluang



Pernahkah kita berpikir bahwa kebetulan – kebetulan yang terjadi di sekitar kita ini bukan hanya kebetulan semata? Kebetulan seringkali terjadi terlalu banyak, hingga sulit diterima oleh penalaran kita. Tidakkah itu menjadi isyarat untuk sesuatu yang lain yang patut kita gali dan cermati? Barangkali rangkaian takdir bernama kebetulan – kebetulan yang kita terima selama ini sesungguhnya mewujud cerita yang terkadang berkaitan dengan kenangan purba. Kenangan – kenangan yang hanya menitis pada jiwa. Ya, jiwa – jiwa yang telah terberkati oleh sajak kelana.

Kali ini saya sedang merenungi rahasia apa sesungguhnya yang menghendaki pertemuan saya dengan belahan jiwa saya, seorang putra Mataram yang dalam tubuhnya masih mengalir sekian puluh persen darah biru. Bukan hanya pertemuan, melainkan diikuti dengan rangkaian peristiwa yang mendekatkan saya pada hal – hal yang secara samar pernah terlintas dalam kehidupan masa kecil saya, yaitu saat saya masih jernih dan mampu melihat yang tak sungguh terlihat oleh mata telanjang.
Saya menilik kebetulan – kebetulan tersebut secara matematis, yaitu melalui peluang. Beberapa bagiannya seperti saya jabarkan sebagai berikut:

2009
  • Peluang dia mampir ke rumah saudaranya yang notabene teman SMP saya sebelum pergi ke Bali adalah 1:2 (pilihannya dia mampir atau tidak)
  • Peluang dia lupa membawa laptop untuk memindah data adalah 1:2 (pilihannya bawa atau tidak)
  • Peluang saudaranya sedang tidak ada laptop adalah 1:2 (pilihannya ada atau tidak)
  • Peluang saudaranya memilih meminjamkan laptop saya adalah 1:100 (teman SMP jumlahnya ratusan, di sini saya asumsikan 100, dan dengan fakta bahwa selepas SMP saya dan saudaranya tidak saling berhubungan juga merupakan kebetulan yang sangat mencolok)
  • Peluang saudaranya masih menyimpan nomor handphone saya adalah 1:2 (pilihannya simpan atau tidak)
  • Peluang pagi itu saya belum berangkat sekolah adalah 1:2 (padahal biasanya saya berangkat pukul 6, atau bahkan setengah 6 pagi. Tapi hari itu entah kenapa saya ingin berangkat siang, mengingat tahun ajaran telah selesai, hanya menunggu wisuda sembari mengurus pendaftaran perguruan tinggi)
  • Peluang hari itu dia yang paling mencuri hati saya adalah 1:5 (karena dia datang bersama 4 orang teman lainnya)
Dan setelah lama tak berjumpa (bahkan saya sudah lupa wajahnya), maka pada 2010
  • Peluang saya pergi ke Jogja adalah 1:4 (karena liburan semester itu saya sebenarnya berniat ke Bali mengunjungi sahabat saya, om saya di Jakarta mengundang saya sekalian ke nikahan sepupu saya, atau saya bisa di rumah saja. Tapi saya begitu saja memutuskan ke Jogja)
  • Peluang saya menghubungi dia adalah 1:10 (mengingat saya punya beberapa teman yang kuliah di Jogja, tapi saya memilih menghubungi dia saja)

Sampai di titik itu, apa yang telah terjadi?
½ X ½ X ½ X 1/100 X ½ X ½ X 1/5 X ¼ X 1/10 yaitu 1/64000, yang artinya kami memenangkan 1 dari sedikitnya 64.000 kemungkinan yang ada hingga kami bisa menjadi dekat. Walaupun saat itu saya tinggal di Surabaya dan dia di Jogja, setelah memutuskan untuk menjalin hubungan kami bertemu setidaknya sebulan sekali, secara bergantian saling mengunjungi. Dengan begitu banyak aral merintang, dengan begitu banyak kejadian, hampir 5 tahun kami bertahan, bahkan semakin dekat dan kerap berbagi rahasia.

Dan secara tak sadar rahasia – rahasia itu justru membawa saya merenungi kembali lintasan – lintasan pikiran kanak – kanak saya yang sederhana, tentang ketertarikan saya pada Mataram, dan keyakinan saya akan kehidupan saya terdahulu. Lambat laun saya menyadari, rahasia – rahasia itu membawa saya pada rahasia yang jauh lebih besar tentang asal usul saya sendiri.


Selepas petang di Tamansari,.

Wednesday, September 10, 2014

Mimpi



Seringnya mimpi memang hanya kembang tidur, atau wujud pengharapan (atau ketakutan) yang berlebihan. Tapi tak semua mimpi begitu saja mudah untuk dilupakan. Barangkali karena menyimpan makna tertentu, ada jenis – jenis mimpi yang lekat dan memenuhi pikiran.

Aku baru saja mengalaminya.

Aku berjalan di bawah terik matahari yang panas membakar, berjalan jauh di jalan – jalan berkerikil yang berdebu. Rasanya demikian gerah dan melelahkan. Tapi aku bertahan, aku terus berjalan. Di sebuah pertigaan aku berbelok ke kiri. Samar kulihat siluet candi prambanan. Tapi aku tak hendak ke sana. Aku terus berjalan. Jalanan semakin berkerikil, berdebu, dan menanjak. Anak – anak bermain dan bersenda gurau. Aku melewati mereka sambil mengumbar senyum. Ah, barangkali jalanku sudah semakin dekat. Jalanan semakin menanjak. Bukan jalan lagi, karena rasa – rasanya sejauh mata memandang sama saja, tebing – tebing, sungai opak di kejauhan. Aku berhenti di hamparan batu – batu yang tersusun dalam formasi. Mandala wajradhatu. Berdiri dengan dingin sepasang dwarapala persis di hadapanku. Aku berlari menuju pusatnya. Di tengah – tengah adalah candi utama. Aku terduduk, bersimpuh, dan menangis. Dalam hati aku tahu, ini Manjusrighra, atau yang biasa dikenal sebagai Candi Sewu.

Aku terbangun, duduk, terdiam.

Rahasiakah yang terbentang lewat mimpi itu? Seumur hidup aku tak pernah melihat Candi Sewu. Bahkan dengan lugunya dulu aku mengira Candi Sewu adalah nama lain dari Candi Prambanan yang berjumlah ratusan itu. Sama lugunya dengan mengira bahwa arca Durga Mahisasuramardini di dalam candi utama Prambanan adalah Roro Jongrang. Ah, barangkali aku telah dipanggil untuk mencari.

Yang aku tahu, aku harus ke Candi Sewu…