Wednesday, December 24, 2014

Malam Natal


Sesorean Jingle Bell diputar berulang – ulang di rumah sebelah. Sudah sewajarnya bagi umat kristiani yang merayakan natal. Lagu – lagu rohani yang diputar semakin beragam setelah petang. Suara orang juga ramai terdengar, pun kendaraan yang datang pergi. Ah, barangkali tetangga sebelah sedang kedatangan tamu, mungkin untuk mengadakan jamuan natal, atau mereka akan berangkat ke gereja bersama – sama untuk mengikuti misa malam natal.

Semakin malam semakin ramai terdengar. Mulai suara orang – orang bercengkerama, bermain gitar, anak – anak berteriak dan berlari, hingga bayi yang menangis. Beberapa mobil parkir di depan, juga motor – motor. Ah, rupanya keluarga besar. Atau keluarga dengan jumlah rekan yang banyak.
Menjelang tengah malam, sekira pukul sepuluh, mendadak hening. Kutajamkan pendengaran. Perlahan terdengar lagu rohani dinyanyikan bersama, dalam paduan suara yang harmonis dan indah. Diiringi gitar mereka menyanyikan lagu dengan penuh perasaan. Pembagian suaranya demikian menawan. Walau ada suara seorang wanita yang terdengar cukup dominan, namun sangat tidak mengganggu. Secara keseluruhan tetap sangat bagus.

Satu lagu berakhir, digantikan lagu yang lain. Hujan mulai turun, dan perlahan menderas. Kombinasi paduan suara dan hujan demikian syahdu terdengar. Selesai beberapa lagu, kembali hening. Sayup terdengar seseorang berbicara, walau aku tak mendengar jelas apa yang sedang dikatakannya.
Lamat –lamat aku menyadari bahwa mereka sedang mengadakan misa. Lalu kenapa di rumah salah satu jemaat? Kenapa bukan di gereja?

Ah, aku teringat GKI Yasmin. Begitu saja terlintas, apa kabar mereka kini? Masihkah beribadat di jalan depan gereja mereka yang disegel? Bagaimana jika hujan?

Ah, apa kabar toleransi umat beragama di negaraku tercinta ini?

Hatiku bersamamu, wahai saudara – saudara sebangsaku yang terusir dari rumah ibadahmu, wahai jemaat GKI Yasmin dan jemaat gereja lain yang ditutup paksa, juga jamaah Ahmadiyah dan Syiah, serta siapapun yang merasakan ketakadilan hak beragama di negeri ini…

diiringi suara hujan di malam natal..

Saturday, November 1, 2014

Selamat Pagi


Hampir setiap hari di sepanjang hidupku aku selalu mengawali hari dengan mengucapkan “Selamat Pagi”. Hal itu bermula ketika di masa kanak – kanakku orangtuaku selalu membangunkanku dengan ucapan “Selamat Pagi” hingga aku terbiasa menimpali dengan ucapan “Selamat Pagi juga, Bapak” atau “Selamat Pagi juga, Ibuk”.

Memasuki bangku sekolah, ada lagi yang membuatku mengucapkan “Selamat Pagi”, yaitu sebelum memulai pelajaran ketika Bapak/Ibu Guru memasuki kelas, aku bersama teman – teman akan berdiri di bangku masing – masing dan mengucapkan “Selamat Pagi, Pak Guru” atau “Selamat Pagi, Bu Guru” dengan suara keras dan nada yang seolah sudah diatur turun temurun selalu seperti itu.

Menginjak remaja, ada sebuah album berjudul “Selamat Pagi, Dunia” yang dirilis oleh penyanyi bersuara emas Glenn Fredly. Lagunya enak – enak dan aku suka memutarnya. Kata – kata “Selamat Pagi, Dunia” juga terdengar keren. Terinspirasi dari itu, aku yang sudah mulai bangun sendiri pun mulai mengawali hari dengan mengucapkan “Selamat Pagi, Dunia” sembari tersenyum lebar.

Saat aku mengenal cinta, di pagi hari, seringkali aku dibangunkan oleh dering SMS yang berisi pesan “Selamat Pagi, Cinta”. Serta merta aku membalas dengan kalimat serupa. Lambat laun, aku tidak hanya bangun untuk menerima SMS saja, ada saat – saat aku bangun untuk lebih dulu mengirim SMS “Selamat Pagi, Cinta”.

Di masa aku mulai mengenal Ajahn Brahm dan menjadikannya sosok bijaksana yang sangat kuidolakan, aku menemukan bahwa yang pertama kutemui dan harus kusapa di pagi hari adalah diriku sendiri. Seperti halnya aku berangkat tidur bersama diriku, maka aku pun terbangun dari tidur bersama diriku. Diriku selalu menyertai aku. Maka aku pun mengubah ritual pagi dengan mengucapkan “Selamat Pagi, Aku” tepat setelah aku membuka mata.

Tibalah suatu ketika aku dipertemukan dengan seorang ibu baik hati. Seorang yang taat dalam agamanya, yang dengan caranya yang demikian sederhana mengingatkanku akan sesuatu yang lebih besar. Beliau mengingatkanku akan suatu eksistensi yang telah lama kuabaikan, akan keberadaan yang kuyakini ada tapi tak selalu kuingat betul – betul. Beliau mengingatkanku akan Tuhan. Bahwa agama hanya ritual, beliau tidak menyangkal. Tapi beliau menyayangkan jika kekecewaanku pada agama telah mengubahku menjadi sekuler sejati. Aku agnostik, tapi kalau benar – benar mengabaikan Tuhan tentu aku telah menjelma atheis. Walau aku lebih sering menyebut diriku “sinkretis yang taat” tapi aku tidak benar – benar taat. Keyakinanku tak bernama barangkali. Ah, tapi, bagaimanapun pada akhirnya aku menyadari, ada yang harus kusapa di pagi hari selain diriku sendiri.
“Selamat Pagi, Aku. Selamat Pagi, Tuhan.”

Sunday, October 19, 2014

Jakarta


Satu kali pernah aku merenungi keberadaanku selepas kuliah. Banyak di antara teman – teman yang hijrah ke Jakarta. Namun aku masih bertahan untuk tinggal di Malang, Jogja, atau Denpasar. Aku merasa kurang kencang berlari. Namun saat itu aku merasa masih mendamba tempat yang lebih sunyi.

Hingga suatu ketika tercetus keinginan untuk mencoba tinggal di Jakarta. Persiapan yang biasa saja, karena aku sudah terbiasa berpindah – pindah tempat tinggal, terutama di antara 3 kota yang kusebutkan di awal.

Awalnya aku memilih untuk tinggal di apartemen. Memilah dan memilih (tentu dengan bantuan internet), membandingkan harga, kemudahan fasilitas, sarana transportasi (mengingat aku tidak membawa kendaraan, yang artinya aku harus menggunakan angkutan umum untuk pergi ke mana – mana). Akhirnya pilihanku jatuh di Kebagusan City, tentu tipe studio. Harga not more than 3juta/bulan, walau exclude maintenance fee juga water and electricity. Dihitung – hitung total di kisaran 3,5–4juta/bulan tergantung pemakaian air dan listrik. Kemudian dekat dengan stasiun MRT Tanjung Barat, mau ke Jakarta Kota atau Depok, bahkan Bogor, tinggal naik MRT dengan tarif ribuan saja. Kemudian lagi, dekat dengan shelter busway. Tapi ini dekatnya masih ragu, soalnya yang ada shelter busway Ragunan, sementara jalan kaki ke Ragunan sepertinya lumayan (berdasarkan skala google maps). Untuk bepergian keluar kota, ke Bandara Halim Perdanakusuma kira – kira taksi 50-100ribu. Kalau Bandara Soekarno-Hatta, naik MRT turun Pasar Minggu, lalu naik bis damri bandara. So far, sounds so promising kan. Lalu aku menelepon owner, sepertinya sudah sangat cocok, sampai teringat hal yang sangat krusial. Sinyal. Apa kabar sinyal di sana? Dengan jujur owner menjawab “tidak terlalu bagus, biasanya EDGE”. Duaarr, pupus harapan. Kalau sinyal buruk, bagaimana aku bisa kerja? Lalu hidup pakai uang darimana? Jadi dengan amat sangat terpaksa sekali, aku menggagalkan niat untuk menyewa apartemen.

Pilihan beralih ke kost. Coba search daerah Pasar Minggu, tidak ada yang cocok. Geser arah Mampang, ada yang tampaknya lumayan nyaman. Telepon, tanya ini itu (minimart terdekat, transportasi publik, sinyal, dll), akhirnya memantapkan hati. Oke, pindah Jakarta. Segera pesan tiket.

Setiba di Bandara Soekarno-Hatta aku memutuskan naik taksi. Sekali – sekali, agar sampai di tempat dengan mudah. Apalagi dengan koper dan ransel, bis damri akan menjadi kurang nyaman. Sopir taksi menyebut harga 180ribu termasuk tol. Baiklah, memang lumayan jauh dan peluang macet sangat terbuka.

Dan ternyata terbukti, macet. Bukan hanya macet, tapi macet sekali. Hampir menyerupai parkir berjamaah. Shock therapy pertama. Aku mencoba sabar. 2 jam perjalanan barulah sampai di kost yang dituju. Sudah sangat bete sekali. Saatnya cek kost. Dan shock therapy kedua, kondisi kost sangat berbeda dengan informasi di internet dan informasi penerima telepon. Aku muntab, sudah, cukup, selesai. Aku meminta sopir taksi mengantar ke sebuah hotel. Semalam di hotel, booking tiket, dan meninggalkan Jakarta keesokan harinya.

Di pesawat yang membawaku meninggalkan ibukota, aku merenungi keinginan sesaatku untuk mengecap kehidupan di Jakarta. Padahal sebenarnya, jika dilihat dari sudut pandang manapun, Jakarta bukan kota yang tepat untukku. Aku bukan pecinta hiruk pikuk, bukan anak gaul yang suka nongkrong, bukan anak modis yang menghabiskan banyak waktu di mall. Jadi walau Jakarta begitu spektakuler dengan banyak tempat nongkrong, itu bukan jenis tempat yang akan kudatangi di sana. Walau begitu banyak mall yang menyuguhkan surga bagi para pecinta belanja dan jalan – jalan cuci mata, itu bukan daya tarik untukku. Bisa dikatakan aku amat sangat jarang sekali ke mall.

Kemudian ketika aku membutuhkan tempat refreshing, kemana aku akan pergi? Oke, toko buku barangkali banyak, tapi selain itu? Di Malang, cukup pulang ke rumah orang tua atau mengunjungi kost adek sudah dapat dihitung sebagai refreshing. Kalau mau jalan – jalan, ada Jatim Park dan kawan – kawan (satu – satunya hal hiruk pikuk yang kusukai adalah naik wahana permainan). Di Denpasar, aku bisa memilih salah satu dari: memutari Kebun Raya di Bedugul (kebun raya memang peneduh hati yang utama), mengunjungi Museum Renaissance Blanco sekaligus makan “Bali Temptation” plus segelas jus dingin Rondji Restaurant di Ubud (sumpah ini makanan enak), mengunjungi salah satu pantai (lebih baik yang cukup sepi), menguntit kawan bersembahyang (terutama kalau ke Tirta Empul, Tampak Siring), mempelajari budaya lokal. Ah, sangat banyak pilihan. Kalau di Jogja, cukup mengunjungi candi atau museum yang cukup banyak tersebar dengan tiket masuknya sangat terjangkau. Bisa juga ke pantai di Wonosari, atau sekalian cave tubing atau off road di daerah Pindul. Kalau di Jakarta mau ke mana? Bisa sih ke Bogor ke Kebun Raya, tapi tanpa kendaraan mau putar – putar pakai apa (ini memang karena aku lumayan pemalas untuk jalan kaki jauh – jauh). Mm, bisa juga ke Kota Tua atau Dufan. Tapi kalau macet kan bete duluan.

Jadi kesimpulannya, bukan Jakarta yang tidak bagus. Jakarta itu bagus lho, taman – taman di tengah kotanya menawan, boulevard yang cantik. Iya, di sana juga surga belanja. Tapi ya, sekali lagi, Jakarta sangat bukan aku. Apa boleh buat. Akhirnya kuputuskan, selamat tinggal Jakarta..


Sejenak setelah mendarat di Bandara Adi Soemarmo Solo..

Tuesday, September 30, 2014

Barisan Para Mantan


Dia termangu sejenak, menerawang, kemudian mulai bercerita. Sebenarnya lebih kepada penyatuan cerita yang tercecer selama ini. Ya, sudah beberapa kali dia bercerita tentang masa lalunya, namun dalam kisah sepotong – sepotong. Walau aku bisa merangkainya, namun tetap ada bagian – bagian yang butuh ditambal. Dan malam ini dia seakan mengisi kekosongan – kekosongan bagian itu, menambalnya dengan cerita yang lebih runut. Aku adalah pendengar yang baik, maka aku diam dan cukup menunjukkan mimik ekspresi. Dia sedang berbagi daftar. Dan di antaranya, ada nama – nama yang membuatnya terkenang cukup lama. Ah ya, cinta pertama salah satunya. Cinta – cinta penuh perasaan salah dua dan tiganya.

Dari keseluruhan ceritanya, ada hal menakjubkan yang kucatat, dia tak pernah menjelek – jelekkan. Dia menghargai setiap kehadiran masing – masing wanita pengisi hidupnya. Dia tak menuntut banyak. Baginya kecantikan, kekayaan, kepandaian, dan beragam kelebihan telah diatur tuhan sesuai dengan porsinya. Dia tak terlalu merisaukan dan mengenang paras para mantan. Dia lebih memilih melihat kebaikan mereka, pengorbanan, cara menunjukkan kasih sayang. Dia mengatakan tak pernah peduli dengan masa lalu mantan – mantannya. Selama saat bersamanya baik dan tidak berkhianat, maka dia meyakini orang itu orang baik. Ah ya, barangkali memang hatinya sedang halus dan melankolis saat ini.

Di ujung ceritanya, dia melihat pada mataku, menyentuh pipiku dengan telapak tangannya, kemudian tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih. Aku tersenyum. Barangkali dia lega telah menumpahkan segalanya padaku. Bukan hanya persoalan rumit kehidupan dewasa semacam keuangan dan hubungan bisnis belaka, melainkan juga timbunan cerita percintaan remaja yang mungkin dia merasa perlu untuk membaginya denganku, agar denganku tiada lagi rahasia yang perlu dia pertahankan.
Di detik ini aku merasa lega. Setidaknya aku dipercaya. Dan aku pun merasa malu dan tersadarkan. Seorang pria yang jatuh cinta tidak memandang fisik sebagai acuan utama. Kenyamanan lah yang dicari. Lalu mengapa aku sebegitu panik dan rendah diri ketika ada jerawat tumbuh di muka? Aku belajar berdamai dengan keadaanku saat ini. Jika sikapku adalah sumber ketenangan baginya, harus apalagi yang bisa menjaga kami selain cinta?

Ah, aku turut pada perasaan melankolis. Aku memutuskan berterima kasih kepada semua mantan – mantanku di luar sana. Setidaknya mereka turut membentuk kepribadianku hari ini. Terutama kepada cinta pertama, yang aku tau diam – diam masih mengingatku dengan segala puja dan cerca..


Dengan backsound The Rain – Terlatih Patah Hati

Monday, September 29, 2014

Sunyata


Yang bernama,
akan menjadi yang berujud..
Yang berujud,
akan menjadi yang terdeskripsi..
Yang terdeskripsi,
akan menjadi tak istimewa lagi..

Maka menjelmalah sunyata,
Dalam kesederhanaan tanpa kata,
Dalam kesungguhan tanpa nama,
Agar yang kau dapat sungguh istimewa..


saat bosan,...
di sebuah studio di Arcamanik, Bandung


Friday, September 26, 2014

Renung


Sekilas menoleh, aku sudah tahu bahwa kamu telah terlelap. Perjalanan ini memang demikian meletihkan. Ratusan kilo kita berkendara dan waktu tak mau berkompromi, kita tetap harus tiba tepat pada waktunya. Seharian kita melaju ke barat. Tentu bukan untuk mencari kitab suci, apalagi cinta sejati. Kita berburu kepastian antara hidup dan mati. Ah tidak, barangkali itu berlebihan. Kita sedang menjemput nafas. Ya, karena kita tahu kita harus bertahan hidup demi kehidupan banyak orang.

Sayangku, barangkali bukan hanya lelah yang menidurkanmu kini, melainkan juga karena bosanmu berbicara satu arah selama beberapa menit terakhir ini. Maafkan, bukan karena aku tuli dan tak lagi mau mendengar. Justru aku menghargaimu dan memberikan seluruh kemampuan mendengarku untuk menyimak setiap kata – katamu. Tapi aku sungguh tak memiliki jawaban yang sesuai untuk kuucapkan selain “err”, “mm”, “oh”, dan sebangsanya. Karena aku tak ingin berdebat denganmu. Karena diamku bermakna ada hal – hal yang aku tak setuju dan aku tak ingin menjadi seterumu.

“selepas Cileunyi daerah rawan, berhati – hatilah” aku tersenyum (aku selalu berhati – hati, sayang. Tapi sungguh terima kasih)
“banyak kecelakaan, dan banyak yang aneh” mm.. (setiap tempat memang memanggul misterinya sendiri – sendiri, kasihku)
“mungkin ada yang ‘memasang’ sesuatu” err.. (itu aku percaya, tapi selepas kematian, karmalah yang membawa nasib jiwa. Bukan demikian, belahan jiwaku?)
“hati – hatilah” aku kembali tersenyum (sudah barang tentu, cinta)
“berdoalah” mm.. (aku lebih memilih bermeditasi daripada berdoa, karena aku lebih suka berdialog daripada meminta)
“setidaknya kalau terjadi apa – apa kita tetap masuk surga” oh.. (maaf sayangku, tapi aku sudah lama melupakan konsep surga dan neraka)
“kamu percaya tuhan?” aku mengangguk (ya, dengan konsep yang kemungkinan besar berbeda denganmu)

Dan ketika kamu mulai bosan berbicara, aku pun terus menatap lurus ke jalanan depan, walau konsentrasiku tak sepenuhnya di sana. Di jalanan ini, di antara ruas – ruas kebun teh di sisi kanan dan kiri, kulihat bintang – bintang bersinar terang. Ah, sudah barang tentu bintang terlihat jelas, tiada mendung yang menutupinya. Alasan yang sama mengapa siang tadi matahari demikian menyengat. Barangkali akan sama menyengatnya situasi saat ini jika aku memutuskan untuk mengucapkan apa yang kupikirkan di penghujung setiap kalimatmu barusan.

Ah, tapi, walau bagaimanapun, tidur, tidurlah, kebanggaanku.. Apapun keyakinanmu, dan dengan cara sesederhana dan sepolos apapun kamu menyikapinya, aku tetap mencintaimu..


selintas renungan,
menjelang fajar di Cipularang..

Wednesday, September 17, 2014

Peluang



Pernahkah kita berpikir bahwa kebetulan – kebetulan yang terjadi di sekitar kita ini bukan hanya kebetulan semata? Kebetulan seringkali terjadi terlalu banyak, hingga sulit diterima oleh penalaran kita. Tidakkah itu menjadi isyarat untuk sesuatu yang lain yang patut kita gali dan cermati? Barangkali rangkaian takdir bernama kebetulan – kebetulan yang kita terima selama ini sesungguhnya mewujud cerita yang terkadang berkaitan dengan kenangan purba. Kenangan – kenangan yang hanya menitis pada jiwa. Ya, jiwa – jiwa yang telah terberkati oleh sajak kelana.

Kali ini saya sedang merenungi rahasia apa sesungguhnya yang menghendaki pertemuan saya dengan belahan jiwa saya, seorang putra Mataram yang dalam tubuhnya masih mengalir sekian puluh persen darah biru. Bukan hanya pertemuan, melainkan diikuti dengan rangkaian peristiwa yang mendekatkan saya pada hal – hal yang secara samar pernah terlintas dalam kehidupan masa kecil saya, yaitu saat saya masih jernih dan mampu melihat yang tak sungguh terlihat oleh mata telanjang.
Saya menilik kebetulan – kebetulan tersebut secara matematis, yaitu melalui peluang. Beberapa bagiannya seperti saya jabarkan sebagai berikut:

2009
  • Peluang dia mampir ke rumah saudaranya yang notabene teman SMP saya sebelum pergi ke Bali adalah 1:2 (pilihannya dia mampir atau tidak)
  • Peluang dia lupa membawa laptop untuk memindah data adalah 1:2 (pilihannya bawa atau tidak)
  • Peluang saudaranya sedang tidak ada laptop adalah 1:2 (pilihannya ada atau tidak)
  • Peluang saudaranya memilih meminjamkan laptop saya adalah 1:100 (teman SMP jumlahnya ratusan, di sini saya asumsikan 100, dan dengan fakta bahwa selepas SMP saya dan saudaranya tidak saling berhubungan juga merupakan kebetulan yang sangat mencolok)
  • Peluang saudaranya masih menyimpan nomor handphone saya adalah 1:2 (pilihannya simpan atau tidak)
  • Peluang pagi itu saya belum berangkat sekolah adalah 1:2 (padahal biasanya saya berangkat pukul 6, atau bahkan setengah 6 pagi. Tapi hari itu entah kenapa saya ingin berangkat siang, mengingat tahun ajaran telah selesai, hanya menunggu wisuda sembari mengurus pendaftaran perguruan tinggi)
  • Peluang hari itu dia yang paling mencuri hati saya adalah 1:5 (karena dia datang bersama 4 orang teman lainnya)
Dan setelah lama tak berjumpa (bahkan saya sudah lupa wajahnya), maka pada 2010
  • Peluang saya pergi ke Jogja adalah 1:4 (karena liburan semester itu saya sebenarnya berniat ke Bali mengunjungi sahabat saya, om saya di Jakarta mengundang saya sekalian ke nikahan sepupu saya, atau saya bisa di rumah saja. Tapi saya begitu saja memutuskan ke Jogja)
  • Peluang saya menghubungi dia adalah 1:10 (mengingat saya punya beberapa teman yang kuliah di Jogja, tapi saya memilih menghubungi dia saja)

Sampai di titik itu, apa yang telah terjadi?
½ X ½ X ½ X 1/100 X ½ X ½ X 1/5 X ¼ X 1/10 yaitu 1/64000, yang artinya kami memenangkan 1 dari sedikitnya 64.000 kemungkinan yang ada hingga kami bisa menjadi dekat. Walaupun saat itu saya tinggal di Surabaya dan dia di Jogja, setelah memutuskan untuk menjalin hubungan kami bertemu setidaknya sebulan sekali, secara bergantian saling mengunjungi. Dengan begitu banyak aral merintang, dengan begitu banyak kejadian, hampir 5 tahun kami bertahan, bahkan semakin dekat dan kerap berbagi rahasia.

Dan secara tak sadar rahasia – rahasia itu justru membawa saya merenungi kembali lintasan – lintasan pikiran kanak – kanak saya yang sederhana, tentang ketertarikan saya pada Mataram, dan keyakinan saya akan kehidupan saya terdahulu. Lambat laun saya menyadari, rahasia – rahasia itu membawa saya pada rahasia yang jauh lebih besar tentang asal usul saya sendiri.


Selepas petang di Tamansari,.