Satu kali pernah aku merenungi keberadaanku selepas kuliah.
Banyak di antara teman – teman yang hijrah ke Jakarta. Namun aku masih bertahan
untuk tinggal di Malang, Jogja, atau Denpasar. Aku merasa kurang kencang
berlari. Namun saat itu aku merasa masih mendamba tempat yang lebih sunyi.
Hingga suatu ketika tercetus keinginan untuk mencoba tinggal
di Jakarta. Persiapan yang biasa saja, karena aku sudah terbiasa berpindah –
pindah tempat tinggal, terutama di antara 3 kota yang kusebutkan di awal.
Awalnya aku memilih untuk tinggal di apartemen. Memilah dan
memilih (tentu dengan bantuan internet), membandingkan harga, kemudahan
fasilitas, sarana transportasi (mengingat aku tidak membawa kendaraan, yang
artinya aku harus menggunakan angkutan umum untuk pergi ke mana – mana).
Akhirnya pilihanku jatuh di Kebagusan City, tentu tipe studio. Harga not more
than 3juta/bulan, walau exclude maintenance fee juga water and electricity.
Dihitung – hitung total di kisaran 3,5–4juta/bulan tergantung pemakaian air dan
listrik. Kemudian dekat dengan stasiun MRT Tanjung Barat, mau ke Jakarta Kota
atau Depok, bahkan Bogor, tinggal naik MRT dengan tarif ribuan saja. Kemudian
lagi, dekat dengan shelter busway. Tapi ini dekatnya masih ragu, soalnya yang
ada shelter busway Ragunan, sementara jalan kaki ke Ragunan sepertinya lumayan
(berdasarkan skala google maps). Untuk bepergian keluar kota, ke Bandara Halim
Perdanakusuma kira – kira taksi 50-100ribu. Kalau Bandara Soekarno-Hatta, naik
MRT turun Pasar Minggu, lalu naik bis damri bandara. So far, sounds so
promising kan. Lalu aku menelepon owner, sepertinya sudah sangat cocok, sampai
teringat hal yang sangat krusial. Sinyal. Apa kabar sinyal di sana? Dengan
jujur owner menjawab “tidak terlalu bagus, biasanya EDGE”. Duaarr, pupus
harapan. Kalau sinyal buruk, bagaimana aku bisa kerja? Lalu hidup pakai uang
darimana? Jadi dengan amat sangat terpaksa sekali, aku menggagalkan niat untuk
menyewa apartemen.
Pilihan beralih ke kost. Coba search daerah Pasar Minggu,
tidak ada yang cocok. Geser arah Mampang, ada yang tampaknya lumayan nyaman.
Telepon, tanya ini itu (minimart terdekat, transportasi publik, sinyal, dll),
akhirnya memantapkan hati. Oke, pindah Jakarta. Segera pesan tiket.
Setiba di Bandara Soekarno-Hatta aku memutuskan naik taksi.
Sekali – sekali, agar sampai di tempat dengan mudah. Apalagi dengan koper dan
ransel, bis damri akan menjadi kurang nyaman. Sopir taksi menyebut harga
180ribu termasuk tol. Baiklah, memang lumayan jauh dan peluang macet sangat
terbuka.
Dan ternyata terbukti, macet. Bukan hanya macet, tapi macet
sekali. Hampir menyerupai parkir berjamaah. Shock therapy pertama. Aku mencoba
sabar. 2 jam perjalanan barulah sampai di kost yang dituju. Sudah sangat bete
sekali. Saatnya cek kost. Dan shock therapy kedua, kondisi kost sangat berbeda
dengan informasi di internet dan informasi penerima telepon. Aku muntab, sudah,
cukup, selesai. Aku meminta sopir taksi mengantar ke sebuah hotel. Semalam di
hotel, booking tiket, dan meninggalkan Jakarta keesokan harinya.
Di pesawat yang membawaku meninggalkan ibukota, aku
merenungi keinginan sesaatku untuk mengecap kehidupan di Jakarta. Padahal
sebenarnya, jika dilihat dari sudut pandang manapun, Jakarta bukan kota yang
tepat untukku. Aku bukan pecinta hiruk pikuk, bukan anak gaul yang suka
nongkrong, bukan anak modis yang menghabiskan banyak waktu di mall. Jadi walau
Jakarta begitu spektakuler dengan banyak tempat nongkrong, itu bukan jenis
tempat yang akan kudatangi di sana. Walau begitu banyak mall yang menyuguhkan
surga bagi para pecinta belanja dan jalan – jalan cuci mata, itu bukan daya
tarik untukku. Bisa dikatakan aku amat sangat jarang sekali ke mall.
Kemudian ketika aku membutuhkan tempat refreshing, kemana
aku akan pergi? Oke, toko buku barangkali banyak, tapi selain itu? Di Malang,
cukup pulang ke rumah orang tua atau mengunjungi kost adek sudah dapat dihitung
sebagai refreshing. Kalau mau jalan – jalan, ada Jatim Park dan kawan – kawan
(satu – satunya hal hiruk pikuk yang kusukai adalah naik wahana permainan). Di
Denpasar, aku bisa memilih salah satu dari: memutari Kebun Raya di Bedugul
(kebun raya memang peneduh hati yang utama), mengunjungi Museum Renaissance
Blanco sekaligus makan “Bali Temptation” plus segelas jus dingin Rondji
Restaurant di Ubud (sumpah ini makanan enak), mengunjungi salah satu pantai
(lebih baik yang cukup sepi), menguntit kawan bersembahyang (terutama kalau ke
Tirta Empul, Tampak Siring), mempelajari budaya lokal. Ah, sangat banyak
pilihan. Kalau di Jogja, cukup mengunjungi candi atau museum yang cukup banyak
tersebar dengan tiket masuknya sangat terjangkau. Bisa juga ke pantai di
Wonosari, atau sekalian cave tubing atau off road di daerah Pindul. Kalau di
Jakarta mau ke mana? Bisa sih ke Bogor ke Kebun Raya, tapi tanpa kendaraan mau
putar – putar pakai apa (ini memang karena aku lumayan pemalas untuk jalan kaki
jauh – jauh). Mm, bisa juga ke Kota Tua atau Dufan. Tapi kalau macet kan bete duluan.
Jadi kesimpulannya, bukan Jakarta yang tidak bagus. Jakarta itu
bagus lho, taman – taman di tengah kotanya menawan, boulevard yang cantik. Iya,
di sana juga surga belanja. Tapi ya, sekali lagi, Jakarta sangat bukan aku. Apa
boleh buat. Akhirnya kuputuskan, selamat tinggal Jakarta..
Sejenak setelah
mendarat di Bandara Adi Soemarmo Solo..
No comments:
Post a Comment