Hampir setiap hari di sepanjang
hidupku aku selalu mengawali hari dengan mengucapkan “Selamat Pagi”. Hal itu
bermula ketika di masa kanak – kanakku orangtuaku selalu membangunkanku dengan
ucapan “Selamat Pagi” hingga aku terbiasa menimpali dengan ucapan “Selamat Pagi
juga, Bapak” atau “Selamat Pagi juga, Ibuk”.
Memasuki bangku sekolah, ada lagi
yang membuatku mengucapkan “Selamat Pagi”, yaitu sebelum memulai pelajaran
ketika Bapak/Ibu Guru memasuki kelas, aku bersama teman – teman akan berdiri di
bangku masing – masing dan mengucapkan “Selamat Pagi, Pak Guru” atau “Selamat
Pagi, Bu Guru” dengan suara keras dan nada yang seolah sudah diatur turun
temurun selalu seperti itu.
Menginjak remaja, ada sebuah
album berjudul “Selamat Pagi, Dunia” yang dirilis oleh penyanyi bersuara emas
Glenn Fredly. Lagunya enak – enak dan aku suka memutarnya. Kata – kata “Selamat
Pagi, Dunia” juga terdengar keren. Terinspirasi dari itu, aku yang sudah mulai
bangun sendiri pun mulai mengawali hari dengan mengucapkan “Selamat Pagi, Dunia”
sembari tersenyum lebar.
Saat aku mengenal cinta, di pagi
hari, seringkali aku dibangunkan oleh dering SMS yang berisi pesan “Selamat
Pagi, Cinta”. Serta merta aku membalas dengan kalimat serupa. Lambat laun, aku
tidak hanya bangun untuk menerima SMS saja, ada saat – saat aku bangun untuk
lebih dulu mengirim SMS “Selamat Pagi, Cinta”.
Di masa aku mulai mengenal Ajahn
Brahm dan menjadikannya sosok bijaksana yang sangat kuidolakan, aku menemukan
bahwa yang pertama kutemui dan harus kusapa di pagi hari adalah diriku sendiri.
Seperti halnya aku berangkat tidur bersama diriku, maka aku pun terbangun dari
tidur bersama diriku. Diriku selalu menyertai aku. Maka aku pun mengubah ritual
pagi dengan mengucapkan “Selamat Pagi, Aku” tepat setelah aku membuka mata.
Tibalah suatu ketika aku dipertemukan
dengan seorang ibu baik hati. Seorang yang taat dalam agamanya, yang dengan
caranya yang demikian sederhana mengingatkanku akan sesuatu yang lebih besar. Beliau
mengingatkanku akan suatu eksistensi yang telah lama kuabaikan, akan keberadaan
yang kuyakini ada tapi tak selalu kuingat betul – betul. Beliau mengingatkanku
akan Tuhan. Bahwa agama hanya ritual, beliau tidak menyangkal. Tapi beliau
menyayangkan jika kekecewaanku pada agama telah mengubahku menjadi sekuler
sejati. Aku agnostik, tapi kalau benar – benar mengabaikan Tuhan tentu aku
telah menjelma atheis. Walau aku lebih sering menyebut diriku “sinkretis yang
taat” tapi aku tidak benar – benar taat. Keyakinanku tak bernama barangkali. Ah,
tapi, bagaimanapun pada akhirnya aku menyadari, ada yang harus kusapa di pagi
hari selain diriku sendiri.
“Selamat Pagi, Aku. Selamat Pagi,
Tuhan.”