Saturday, November 1, 2014

Selamat Pagi


Hampir setiap hari di sepanjang hidupku aku selalu mengawali hari dengan mengucapkan “Selamat Pagi”. Hal itu bermula ketika di masa kanak – kanakku orangtuaku selalu membangunkanku dengan ucapan “Selamat Pagi” hingga aku terbiasa menimpali dengan ucapan “Selamat Pagi juga, Bapak” atau “Selamat Pagi juga, Ibuk”.

Memasuki bangku sekolah, ada lagi yang membuatku mengucapkan “Selamat Pagi”, yaitu sebelum memulai pelajaran ketika Bapak/Ibu Guru memasuki kelas, aku bersama teman – teman akan berdiri di bangku masing – masing dan mengucapkan “Selamat Pagi, Pak Guru” atau “Selamat Pagi, Bu Guru” dengan suara keras dan nada yang seolah sudah diatur turun temurun selalu seperti itu.

Menginjak remaja, ada sebuah album berjudul “Selamat Pagi, Dunia” yang dirilis oleh penyanyi bersuara emas Glenn Fredly. Lagunya enak – enak dan aku suka memutarnya. Kata – kata “Selamat Pagi, Dunia” juga terdengar keren. Terinspirasi dari itu, aku yang sudah mulai bangun sendiri pun mulai mengawali hari dengan mengucapkan “Selamat Pagi, Dunia” sembari tersenyum lebar.

Saat aku mengenal cinta, di pagi hari, seringkali aku dibangunkan oleh dering SMS yang berisi pesan “Selamat Pagi, Cinta”. Serta merta aku membalas dengan kalimat serupa. Lambat laun, aku tidak hanya bangun untuk menerima SMS saja, ada saat – saat aku bangun untuk lebih dulu mengirim SMS “Selamat Pagi, Cinta”.

Di masa aku mulai mengenal Ajahn Brahm dan menjadikannya sosok bijaksana yang sangat kuidolakan, aku menemukan bahwa yang pertama kutemui dan harus kusapa di pagi hari adalah diriku sendiri. Seperti halnya aku berangkat tidur bersama diriku, maka aku pun terbangun dari tidur bersama diriku. Diriku selalu menyertai aku. Maka aku pun mengubah ritual pagi dengan mengucapkan “Selamat Pagi, Aku” tepat setelah aku membuka mata.

Tibalah suatu ketika aku dipertemukan dengan seorang ibu baik hati. Seorang yang taat dalam agamanya, yang dengan caranya yang demikian sederhana mengingatkanku akan sesuatu yang lebih besar. Beliau mengingatkanku akan suatu eksistensi yang telah lama kuabaikan, akan keberadaan yang kuyakini ada tapi tak selalu kuingat betul – betul. Beliau mengingatkanku akan Tuhan. Bahwa agama hanya ritual, beliau tidak menyangkal. Tapi beliau menyayangkan jika kekecewaanku pada agama telah mengubahku menjadi sekuler sejati. Aku agnostik, tapi kalau benar – benar mengabaikan Tuhan tentu aku telah menjelma atheis. Walau aku lebih sering menyebut diriku “sinkretis yang taat” tapi aku tidak benar – benar taat. Keyakinanku tak bernama barangkali. Ah, tapi, bagaimanapun pada akhirnya aku menyadari, ada yang harus kusapa di pagi hari selain diriku sendiri.
“Selamat Pagi, Aku. Selamat Pagi, Tuhan.”