Monday, August 18, 2014

Jimbaran Bay,.


Ada kau lihat ombak berbuih di sepanjang garis pantai, melagukan harmoni. Keindahan yang seketika kau takjubi. Senyummu tak bisa menutup seluruh letup yang memenuhi dadamu. Dalam getirpun ternyata kamu masih sanggup sedikit berbahagia. Barangkali memang bersamaku diam – diam kamu harus mengakui bahwa kamu bahagia. Ombak berbuih itu barangkali hanya salah satu pelengkap, selain lilin yang apinya terkadang meliuk terkena angin walau wadah kaca telah melingkupinya. Barangkali bagimu, fokus utamanya adalah aku. Seperti harus kuakui bagiku segala drama romantis melankolis malam ini berpusat pada kamu. Ah sayang, andai malam ini bukan malam perpisahan, tentu kebahagiaan tak perlu berbagi tempat dengan kegelisahan. Setiap degup jantungku seolah mengingatkanku seberapa banyak waktu yang telah berlalu, membawaku semakin dekat pada keputusan untuk merelakanmu. Sekali lagi jangan salahkan Tuhan. Sedari awal kita sudah tahu, Tuhan yang kita kenal selama ini bukanlah Tuhan yang adil, bukanlah Tuhan yang pengasih. Mungkin karena sekarang kita telah lari untuk menghindari Tuhan maka Tuhan tidak akan memberi kasih pada kita. Tuhan memberikan kasihnya kepada orang – orang yang dekat denganNya, dan tidak termasuk kita, baik dulu, apalagi sekarang. Tapi ah sayang, kita sedang makan malam romantis kali ini. Kita tidak sedang menghujat Tuhan. Mungkin Tuhan yang kita kenal selama ini bukan Tuhan yang jodoh dengan kita. Jadi mungkin kita bisa mulai mencari Tuhan yang lain, Tuhan yang menerima saat kita dekat, namun tidak mengecam saat kita jauh. Tuhan yang pengasih, bukan hanya kepada mereka yang mati – matian mendekatiNya, namun juga memberi kasih pada kita yang lebih ke nasionalis daripada agamis.
Perlahan gerimis menimbulkan suara di tenda yang menaungi kita. Lilin kecil tampak semakin kehilangan daya. Ah betapa, sungguh aku merasa sama sekaratnya dengan lilin di meja..


Jimbaran Bay,
menjelang tengah malam..